Jejak Gelap Media Sosial: Dari Cyberbullying hingga Propaganda Politik
Media sosial awalnya lahir sebagai ruang untuk berbagi cerita, memperluas jaringan, dan memperkuat hubungan antar manusia. Namun, di balik manfaat yang luar biasa, ada jejak gelap media sosial yang kian sulit dihindari. Fenomena seperti cyberbullying, ujaran kebencian, penyebaran hoaks, hingga propaganda politik menjadi bukti nyata bahwa dunia digital tidak selalu aman.
Media Sosial: Antara Koneksi dan Konflik

Tidak bisa dipungkiri, media sosial telah menjadi ruang publik modern. Dari Twitter, Facebook, Instagram, hingga TikTok, semua orang kini bisa bersuara. Namun, kebebasan ini sering disalahgunakan. Kebebasan berekspresi berubah menjadi senjata untuk menyerang, merendahkan, atau bahkan memecah belah masyarakat.
Fenomena ini pernah terlihat jelas saat demo besar-besaran di Indonesia, di mana media sosial berperan ganda: sebagai sarana koordinasi massa sekaligus penyebaran hoaks yang memperkeruh situasi.
Lihat Juga : Demo Indonesia Terbaru: Penjarahan DPR, Bentrokan Polisi, dan Amarah Rakyat
Cyberbullying: Luka yang Tak Terlihat

Salah satu sisi gelap paling nyata adalah cyberbullying. Anak-anak hingga orang dewasa bisa jadi korban.
Menurut data Komnas Perlindungan Anak, laporan kasus perundungan digital meningkat tiap tahun. Bentuknya beragam: komentar body shaming, penyebaran foto tanpa izin, hingga ancaman langsung lewat DM.
Efeknya? Jauh lebih serius dari sekadar “cuma bercanda”. Korban bisa mengalami depresi, menarik diri dari lingkungan sosial, bahkan ada yang memilih mengakhiri hidupnya. Kasus-kasus semacam ini sering viral di Twitter, namun sayangnya kesadaran publik masih rendah.
Ujaran Kebencian dan Polarisasi Politik
Media sosial juga menjadi sarang ujaran kebencian. Identitas suku, agama, ras, dan golongan (SARA) sering dijadikan bahan provokasi.
Di ranah politik, medsos bahkan lebih panas. Menjelang Pemilu, buzzer politik memproduksi konten untuk menyerang lawan. Algoritma platform memperparah kondisi ini, karena pengguna terus-menerus disuguhi konten serupa sehingga memperkuat bias.
Fakta ini sudah dibuktikan dalam riset Oxford Internet Institute yang menemukan bahwa operasi propaganda digital marak di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Hoaks: Penyakit Menular Digital

Hoaks menyebar jauh lebih cepat daripada fakta. Informasi palsu sering dikemas dalam bentuk meme, video pendek, atau judul sensasional yang membuat orang mudah terprovokasi.
Contoh paling nyata adalah saat pandemi COVID-19, di mana hoaks mengenai obat, vaksin, hingga teori konspirasi membanjiri WhatsApp dan Facebook. Menurut laporan Kominfo, lebih dari 2.000 konten hoaks berhasil di-takedown selama periode pandemi.
Propaganda Politik di Era Digital
Propaganda politik kini tidak lagi berbentuk baliho atau iklan TV, tetapi lewat postingan medsos. Kontennya bisa berupa narasi heroik, disinformasi tentang lawan, atau framing tertentu agar publik terpengaruh.
Kasus “pabrik buzzer” di Indonesia bukan lagi rahasia umum. Ratusan akun anonim dikerahkan untuk menggiring opini publik. Akibatnya, demokrasi digital kita semakin tercemar oleh kepentingan kelompok tertentu.
Dampak Sosial: Dari Kepercayaan Publik hingga Demokrasi
Sisi gelap media sosial berdampak luas:
- Kepercayaan antarindividu menurun karena mudah curiga satu sama lain.
- Polarisasi masyarakat meningkat, bahkan antar keluarga bisa pecah gara-gara beda pandangan politik.
- Demokrasi melemah, karena wacana publik dipenuhi hoaks dan propaganda, bukan fakta.
Solusi: Bijak Bermedsos, Bijak Mengonsumsi Informasi
Lalu apa solusinya?
- Literasi Digital – Masyarakat harus dibekali kemampuan memverifikasi informasi.
- Peran Pemerintah – Negara perlu hadir dengan regulasi yang tegas tanpa mengurangi kebebasan berekspresi.
- Tanggung Jawab Platform – Raksasa teknologi seperti Meta, Google, dan TikTok harus lebih aktif memberantas konten berbahaya.
- Kesadaran Individu – Pengguna perlu sadar bahwa tombol “share” bisa berdampak besar.
Kesimpulan
Jejak gelap media sosial adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Cyberbullying, ujaran kebencian, hoaks, hingga propaganda politik telah meninggalkan luka besar di ruang digital Indonesia. Namun, jika kita bisa lebih kritis, bijak, dan berani melawan arus disinformasi, maka media sosial bisa kembali menjadi ruang yang sehat bagi demokrasi dan kehidupan sosial.
Share this content:
Post Comment