Zonasi Sekolah: Niat Baik yang Belum Tepat Sasaran
Program zonasi sekolah awalnya dibuat untuk pemerataan pendidikan. Tujuannya mulia: agar anak-anak dari berbagai latar belakang ekonomi punya kesempatan yang sama untuk mendapat pendidikan berkualitas.
Namun, lima tahun sejak kebijakan ini diberlakukan, masalah demi masalah terus bermunculan. Banyak orang tua dan siswa merasa sistem zonasi justru menutup kesempatan bagi mereka yang berprestasi tapi tinggal di luar radius sekolah unggulan.
Siswa Berprestasi Tersingkir karena Alamat
Setiap tahun, keluhan publik membanjiri media sosial. Salah satunya adalah kisah Dinda, siswi dengan nilai rapor sempurna dari Depok, yang gagal masuk SMA favorit karena rumahnya berjarak 1,2 kilometer lebih jauh dari batas zonasi.
“Rasanya tidak adil. Kami belajar keras, tapi kalah karena jarak,” ujar sang ibu yang dikutip dari Kompas.com.
Kebijakan zonasi memang mendorong pemerataan, tapi di sisi lain mengorbankan semangat kompetisi akademik. Banyak guru menilai hal ini justru membuat motivasi belajar sebagian siswa menurun.
Ketimpangan Kualitas Sekolah Masih Jadi Masalah
Zonasi hanya efektif jika kualitas pendidikan di tiap wilayah setara. Faktanya, data Kemendikbud tahun 2025 menunjukkan masih ada kesenjangan besar antara sekolah di pusat kota dan pinggiran.
Sekolah favorit memiliki guru tersertifikasi dan fasilitas lengkap, sementara sekolah di daerah lain sering kekurangan tenaga pengajar serta sarana belajar yang memadai.
Artikel Transparansi Anggaran Pendidikan pernah menyoroti bahwa distribusi dana pendidikan belum merata, membuat sistem zonasi jadi timpang sejak awal.
Orang Tua Jadi Korban Sistem
Demi memasukkan anaknya ke sekolah favorit, banyak orang tua akhirnya memilih memindahkan alamat domisili sementara, bahkan ada yang menyewa rumah dekat sekolah hanya untuk memenuhi syarat zonasi.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan yang seharusnya adil malah mendorong praktik tidak sehat di masyarakat.
Beberapa guru berpendapat bahwa sistem kombinasi zonasi dan prestasi perlu diterapkan. Dengan begitu, siswa berprestasi tetap punya peluang tanpa meniadakan prinsip pemerataan.
Reaksi Pemerintah: Evaluasi Menyeluruh Akan Dilakukan
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan bahwa kebijakan zonasi masih dalam tahap evaluasi.
Pihak Kemendikbud menegaskan, tahun depan sistem ini akan diperbaiki dengan mempertimbangkan aspek keadilan dan prestasi siswa.
Namun, sejumlah pakar pendidikan menilai, tanpa pemerataan kualitas sekolah dan kesejahteraan guru, zonasi hanya akan jadi kebijakan setengah matang.
Artikel Kesejahteraan Guru Masih Terabaikan menjelaskan, guru yang tidak didukung dengan fasilitas dan pelatihan sulit meningkatkan mutu belajar di sekolah pinggiran.
Harapan untuk Masa Depan Pendidikan
Sistem pendidikan ideal bukan hanya soal jarak, tapi juga kesetaraan kesempatan dan kualitas pengajaran.
Pemerintah diharapkan bisa menyeimbangkan antara pemerataan dan penghargaan terhadap prestasi akademik.
Dengan demikian, tidak ada lagi siswa pintar yang tersingkir hanya karena faktor alamat.
Ke depan, kolaborasi antara sekolah, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi kunci agar sistem zonasi berjalan adil bagi semua pihak.
Share this content:
Post Comment