Dampak Digitalisasi terhadap Siswa dan Nilai Moral di Sekolah
Era Digital di Sekolah: Antara Kemajuan dan Kekhawatiran
Teknologi kini menjadi bagian dari kehidupan pelajar Indonesia. Dari tugas sekolah hingga ujian, semuanya mulai bergantung pada perangkat digital.
Namun, di balik kemudahan itu, banyak pendidik mulai bertanya: apakah digitalisasi benar-benar membantu siswa tumbuh lebih baik, atau justru membuat mereka kehilangan nilai moral dan empati?
Menurut data dari Kemendikbud.go.id, lebih dari 70% sekolah di Indonesia sudah menerapkan sistem pembelajaran berbasis digital sejak 2023. Hasilnya memang meningkatkan kecepatan belajar, tapi juga memunculkan tantangan baru.
Sisi Positif Digitalisasi bagi Siswa
Digitalisasi membawa kemudahan luar biasa bagi siswa.
Sekarang, mereka bisa mengakses ribuan sumber belajar hanya dengan satu klik. Platform seperti Ruang Guru dan Sibejoo menjadi teman belajar yang efektif.
Selain itu, banyak sekolah yang melatih siswa untuk berpikir kritis dan kreatif lewat teknologi, seperti coding, desain, dan riset digital.
Di artikel sebelumnya, Guru Nakal juga membahas bahwa transformasi digital bisa memperkuat kualitas pengajaran bila diterapkan dengan kebijakan yang tepat.
Tantangan Moral dan Sosial di Kalangan Pelajar
Sayangnya, kemajuan digital tak selalu diikuti kedewasaan moral.
Guru di berbagai daerah melaporkan meningkatnya kasus plagiarisme, cyberbullying, hingga kecanduan media sosial di kalangan pelajar.
Siswa jadi lebih mudah menyalin jawaban ketimbang berpikir kritis, dan interaksi sosial mulai tergantikan dengan komunikasi daring yang dangkal.
Sebuah riset oleh Katadata.co.id mencatat bahwa 42% siswa di Indonesia menghabiskan lebih dari 6 jam per hari di depan layar gawai. Angka ini menunjukkan betapa besar pengaruh digital terhadap perilaku generasi muda.
Peran Guru dan Orang Tua dalam Menyeimbangkan Teknologi
Digitalisasi tidak seharusnya dihindari, tetapi dikendalikan. Guru dan orang tua perlu bersinergi agar teknologi tetap menjadi alat bantu belajar, bukan sumber distraksi.
Beberapa sekolah sudah mulai menerapkan digital literacy class yang mengajarkan etika bermedia sosial dan tanggung jawab digital sejak usia dini.
Sebagai contoh, program “Sekolah Cerdas Digital” di Jawa Barat mengintegrasikan pelajaran moral dengan kegiatan daring. Upaya seperti ini bisa menjadi solusi agar pelajar tetap cerdas tanpa kehilangan empati dan nilai karakter.
Kesimpulan
Teknologi adalah alat, bukan pengganti nilai-nilai kemanusiaan.
Siswa memang perlu menguasai teknologi untuk masa depan, tetapi lebih penting lagi untuk memahami bagaimana menggunakannya dengan bijak.
Digitalisasi hanya akan membawa manfaat jika diiringi dengan pendidikan karakter yang kuat. Karena di tengah kemajuan zaman, yang paling berharga tetaplah moral dan integritas manusia.
Share this content:



Post Comment