Kesejahteraan Guru Masih Terabaikan: Saat Dedikasi Tak Seimbang dengan Penghargaan
Di balik setiap anak yang sukses, selalu ada guru yang berdedikasi. Namun, ironisnya, mereka yang membentuk masa depan bangsa justru sering terpinggirkan.
Kesejahteraan guru di Indonesia masih menjadi topik lama yang terus berulang tanpa perubahan signifikan.
Dalam survei yang dirilis oleh Kemendikbudristek tahun 2025, lebih dari 58% guru honorer masih menerima gaji di bawah UMR, bahkan ada yang hanya mendapat Rp400 ribu per bulan. Angka ini menggambarkan betapa belum seimbangnya penghargaan terhadap profesi yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan nasional.
Di Antara Dedikasi dan Realita
Meski hidup dalam keterbatasan, banyak guru tetap mengajar dengan sepenuh hati.
Seperti kisah Bu Ratna, guru di daerah Lombok Timur, yang harus menempuh perjalanan 17 kilometer setiap hari hanya untuk mengajar enam murid di sekolah pedalaman.
“Selama mereka mau belajar, saya akan datang,” katanya dengan senyum tulus.
Namun, di balik keteguhan itu, ada kelelahan dan tekanan mental yang jarang disorot.
Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), lebih dari 30% guru honorer mengalami stres akibat tekanan finansial dan beban administratif yang tinggi.
Ketimpangan Kesejahteraan yang Mengkhawatirkan
Sistem penggajian guru di Indonesia memang belum merata.
Guru ASN dengan sertifikasi bisa menerima penghasilan hingga 10 kali lipat lebih besar dibanding guru honorer dengan masa kerja yang sama.
Kesenjangan ini menciptakan kecemburuan profesional dan menurunkan semangat kerja sebagian tenaga pendidik.
Artikel sebelumnya, Nasib Guru Honorer 2025, sudah menyoroti persoalan ini secara mendalam. Hingga kini, banyak guru masih menunggu kejelasan janji pengangkatan ASN dari pemerintah yang belum terealisasi.
Kebijakan Pemerintah: Harapan yang Masih Menggantung
Pemerintah sejatinya sudah meluncurkan berbagai program untuk memperbaiki kondisi guru, mulai dari tunjangan profesi hingga sertifikasi kompetensi.
Namun, implementasinya masih menghadapi banyak kendala.
Proses birokrasi yang rumit, data tidak sinkron, dan keterlambatan pencairan tunjangan sering menjadi sumber keluhan para pendidik.
Berdasarkan laporan dari Kompas.com, sejumlah guru di Kalimantan Selatan mengaku belum menerima tunjangan sertifikasi selama lebih dari enam bulan.
Kondisi seperti ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin guru bisa fokus mengajar jika kebutuhan dasarnya saja belum terpenuhi?
Guru di Tengah Perubahan Sistem Pendidikan
Selain persoalan ekonomi, guru juga dihadapkan dengan tantangan era digital.
Kurikulum Merdeka menuntut guru untuk lebih kreatif dan adaptif, sementara pelatihan serta fasilitas masih sangat terbatas.
Beberapa guru bahkan mengaku kesulitan mengakses pelatihan daring karena keterbatasan jaringan internet di daerah mereka.
Dalam artikel Transparansi Anggaran Pendidikan dijelaskan bahwa sebagian besar dana pendidikan masih terserap untuk administrasi dan infrastruktur, bukan peningkatan kompetensi guru.
Padahal, kualitas pendidikan tidak hanya bergantung pada gedung yang megah, tetapi juga pada kualitas dan kesejahteraan para pengajarnya.
Ketimpangan Wilayah: Nasib Guru di Pelosok
Di wilayah terpencil seperti Papua, NTT, dan Kalimantan Utara, kondisi kesejahteraan guru bahkan lebih memprihatinkan.
Banyak sekolah masih kekurangan tenaga pengajar tetap, dan beberapa guru harus merangkap hingga tiga mata pelajaran.
Sementara itu, akses terhadap tunjangan dan pelatihan sering kali tidak sampai ke mereka karena kendala administratif dan geografis.
Pemerintah daerah diharapkan lebih aktif menyalurkan dana pendidikan secara transparan dan tepat sasaran.
Kolaborasi dengan masyarakat setempat juga penting untuk mendukung guru dalam memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak di pelosok negeri.
Guru Bukan Sekadar Pekerjaan, Tapi Pengabdian
Meski sering terabaikan, guru tetap menjadi simbol pengabdian sejati.
Mereka hadir di setiap ruang kelas untuk menanamkan nilai, bukan hanya ilmu.
Namun, pengabdian tanpa penghargaan bisa membuat profesi mulia ini kehilangan generasi penerusnya.
Menurut riset dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), minat mahasiswa untuk menjadi guru menurun 18% dalam lima tahun terakhir.
Alasannya sederhana: beban besar, gaji kecil, dan status yang tidak pasti.
Jika tren ini terus berlanjut, Indonesia akan menghadapi krisis tenaga pendidik dalam 10 tahun mendatang.
Saatnya Mengembalikan Martabat Guru
Sudah saatnya pemerintah tidak hanya menjadikan guru sebagai jargon politik menjelang pemilu.
Kesejahteraan guru harus dipandang sebagai investasi masa depan bangsa, bukan sekadar biaya rutin anggaran pendidikan.
Negara-negara maju seperti Finlandia menunjukkan bahwa penghargaan terhadap guru berdampak langsung pada kualitas pendidikan nasional.
Ketika guru bahagia, siswa pun akan tumbuh dalam lingkungan belajar yang sehat dan produktif.
Kesimpulan
Guru bukan hanya pengajar, tapi pembentuk karakter dan masa depan bangsa.
Jika mereka terus dibiarkan berjuang sendirian, kita tidak bisa berharap pada sistem pendidikan yang unggul.
Pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bergandengan tangan untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Karena pada akhirnya, pendidikan tidak akan pernah maju tanpa guru yang sejahtera, dihargai, dan didengar.
Share this content:
Post Comment