Remaja Indonesia Lebih Pilih Main TikTok daripada Baca Buku: Bahaya atau Peluang?
Pendahuluan
Fenomena penggunaan TikTok oleh remaja Indonesia semakin tak terbendung. Bukan sekadar hiburan, platform ini sudah menjadi bagian dari gaya hidup dan bahkan identitas generasi muda saat ini. Namun di balik itu, muncul kekhawatiran: apakah dominasi TikTok menggantikan kebiasaan membaca buku? Dan jika iya, apakah ini pertanda buruk atau justru peluang besar untuk dunia pendidikan dan literasi digital?
Ketertarikan Remaja pada TikTok
TikTok menjadi magnet kuat karena sifatnya yang visual, cepat, dan interaktif. Remaja bisa mengonsumsi konten pendek yang menghibur dalam hitungan detik. Algoritma TikTok yang cerdas pun membuat pengguna terus terpaku pada layar.
Bandingkan dengan membaca buku, yang membutuhkan fokus, waktu, dan imajinasi — TikTok jelas menang secara instan.
Menurut survei We Are Social 2025, lebih dari 70% remaja Indonesia usia 13-19 tahun mengakses TikTok setiap hari, sementara hanya 20% yang membaca buku non-pelajaran secara rutin.
Ancaman Nyata Terhadap Literasi?
Dampak pada Kemampuan Baca Tulis
Pengalihan minat dari membaca ke menonton video tentu bisa berdampak pada kemampuan literasi, terutama pemahaman bacaan dan kemampuan berpikir kritis. Buku melatih daya imajinasi dan nalar yang tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh video singkat.
Contohnya, banyak remaja kini kesulitan memahami teks panjang atau menulis esai dengan struktur yang baik. Fenomena ini bahkan mulai dirasakan oleh para guru di sekolah, seperti yang diungkapkan di Kemendikbud.go.id.
Konsumsi Pasif Tanpa Refleksi
Jika tren ini berlanjut tanpa kontrol, bukan tidak mungkin generasi muda menjadi “consumers only” tanpa kemampuan menganalisis secara mendalam. Ini bukan sekadar hilangnya minat baca, tapi juga merosotnya budaya berpikir kritis.
Peluang Besar di Balik Tren TikTok
Edukasi Bisa Ikut Masuk
Namun, jika dilihat dari sudut pandang lain, justru ini bisa menjadi peluang emas. Jika kita bisa menyisipkan konten edukatif, storytelling literasi, atau review buku ke dalam format TikTok, kita bisa menjangkau jutaan remaja tanpa harus memaksa mereka membaca cara lama.
Sudah ada contoh sukses seperti akun @bukudiaries dan @literasikita di TikTok yang menggabungkan hiburan dan literasi dengan menarik. Bahkan beberapa penerbit seperti Gramedia mulai beradaptasi dengan konten TikTok-style untuk promosi buku mereka.
Adaptasi Adalah Kunci
Daripada menentang arus, sebaiknya kita menyesuaikan gaya edukasi dengan platform yang disukai remaja. Literasi digital perlu diperluas, termasuk kemampuan memilih konten yang baik, membandingkan informasi, dan memproduksi video edukatif.
Baca juga artikel lain tentang Pentingnya Adaptasi Pendidikan Digital
Strategi Menggabungkan Literasi dan Digital
- Mengintegrasikan TikTok edukatif ke dalam kurikulum sekolah.
- Mengadakan lomba video review buku atau sinopsis cerita.
- Mengajak content creator untuk jadi duta literasi digital.
Dengan begitu, kita tidak sedang melawan tren, tapi menyelam di dalamnya sambil membawa nilai edukatif yang kuat.
Kesimpulan
TikTok tak bisa disalahkan sepenuhnya. Ia hanya sebuah medium. Yang harus dibenahi adalah bagaimana kita mengarahkan penggunaannya. Apakah akan jadi platform hiburan kosong, atau alat edukasi modern — semua tergantung kita.
Jika dunia pendidikan Indonesia bisa beradaptasi dan masuk ke ruang-ruang digital populer seperti TikTok, maka literasi bisa tetap tumbuh di tengah dunia yang semakin visual dan cepat.
Share this content:
Post Comment