Penyebab Jepang Mengalami Penurunan Jumlah Penduduk

Halo orang baik dan pintar, bahasan ini membantu menjawab pertanyaan “Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk hal tersebut terjadi karena?”

Jawaban dari pertanyaan ini didasarkan pada data yang diterbitkan oleh media elektronik Jepang Nippon.com. Ayo baca bahasan ini sampai tuntas agar pengetahuanmu bertambah luas.


Jepang merupakan salah satu negara termaju di dunia yang sangat terkenal karena produk-produk teknologinya yang berkualitas tinggi. Budaya Jepang juga sangat populer dan banyak disukai orang-orang di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia.

Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya cek dulu profil singkat Jepang di bawah ini.

  • Ibu kota dan kota terbesar: Tokyo
  • Bahasa nasional: Jepang
  • Kelompok etnik terbesar (2018): Jepang (98,1%)
  • Agama terbesar (2000): Shinto (51,8%)
  • Bentuk pemerintahan: Negara kesatuan berbentuk monarki parlementer
  • Hari pembentukan negara: 11 Februari 660 SM
  • Luas wilayah: 377.973 km persegi (sekitar 3x luas Pulau Jawa)
  • Jumlah penduduk (sensus Januari 2019): 126.317.000 (hampir setara dengan jumlah penduduk Pulau Jawa)
  • Mata uang: Yen (¥1 = Rp 134,37 per 2 September 2019)
  • Zona waktu: UTC+9 = WIT
  • Produk pertanian utama: Beras dan berbagai buah dan sayuran lokal berkualitas tinggi
  • Produk perikanan utama: Tuna segar dan berbagai jenis ikan lain untuk konsumsi masyarakat Jepang.
  • Produk industri utama: Kendaraan bermotor, peralatan elektronik, peralatan mesin, logam, kapal, bahan kimia dan makanan olahan.
  • Jumlah pengunjung internasional: 24,03 juta (data tahun 2016)

Nah, terkait masalah penduduk, Jepang sebenarnya memiliki jumlah populasi yang cukup tinggi, yaitu sekitar 126 juta jiwa menurut sensus bulan Januari 2019. Hal ini membuat Jepang sebagai negara paling padat penduduk ke-11 di dunia (sekitar setengah jumlah penduduk Indonesia).

Pada saat tulisan ini dibuat, Jepang tengah mengalami krisis penurunan jumlah penduduk yang sangat serius. Jumlah penduduk negara tersebut terus mengalami penyusutan dari tahun ke tahun (disebut dengan depopulasi). Mengapa hal itu bisa terjadi dan apa langkah-langkah Pemerintah Jepang untuk menanggulanginya?

Penyebab Jepang Mengalami Penurunan Jumlah Penduduk


Mengapa Jepang bisa mengalami penurunan jumlah penduduk? Data di bawah ini bisa sedikit menjawab.

  • Births = Kelahiran
  • Total fertility rate (TFR) = Tingkat kesuburan total, istilah yang digunakan di bidang demografi untuk menggambarkan jumlah rata-rata anak yang akan terlahir dari seorang wanita sepanjang hidupnya bila ia akan mengalami tingkat kesuburan spesifik usia terkini yang pasti dan ia akan selamat dari kelahiran sepanjang usia reproduktifnya (Wikipedia).
  • Deaths = Kematian
  • Natural population change = Perubahan populasi alami
  • Marriages = Pernikahan
  • Divorces = Perceraian
  • Estimate = Perkiraan

Tabel demografis Jepang yang dibuat oleh Nippon.com berdasarkan statistik demografis dari Kementerian Kesehatan, Perburuhan, dan Kesejahteraan Jepang. Perubahan populasi alami dihitung berdasarkan perbedaan antara jumlah kelahiran dan kematian.

Data demografis Jepang dalam kurun waktu tiga tahun di atas bisa menjadi jawaban mengapa Jepang mengalami penurunan jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Jadi, penurunan jumlah penduduk Jepang terjadi karena beberapa hal ini:

  • Tingkat kesuburan yang rendah. Menurut Noriko O. Tsuya (2017), TFR Jepang mengalami penurunan dari 4,5 anak per wanita pada tahun 1947 menjadi 2,0 pada tahun 1957. Dan sejak tahun 2000, TFR Jepang telah berfluktuasi antara 1,3 dan 1,4 anak per wanita.
  • Karena populasi Jepang secara keseluruhan menyusut karena tingkat kesuburan yang rendah, populasi yang menua meningkat pesat.

Tsuya menyebutkan bahwa pada tahun 2015, 27 persen penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas, dan proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2060 kira-kira 40 persen penduduk Jepang akan menjadi lansia.

Dan proyeksi menunjukkan bahwa populasi Jepang akan terus menurun selama beberapa dekade mendatang — dari 128 juta pada tahun 2010 menjadi sekitar 87 juta pada tahun 2060.

Sebagai informasi tambahan, orang Jepang terkenal berusia panjang karena cara hidup sehat mereka. Akan tetapi, banyak generasi muda Jepang yang enggan untuk menikah dan mempunyai anak.

Hasilnya angka kematian di Jepang lebih tinggi dari angka kelahiran. Selain itu, angka perceraian yang cukup tinggi juga menyebabkan angka kelahiran di Jepang terus mengalami kemerosotan.

Ada banyak faktor mengapa pria dan wanita Jepang kurang minat untuk menikah, salah satunya karena mereka sibuk dengan karirnya masing-masing.

Menurut laporan PBB, salah satu sebab mengapa pria dan wanita Jepang tidak menikah dan tidak memiliki anak adalah karena meningkatnya kesempatan kerja bagi wanita muda dan menyusutnya peluang bagi pria muda.

Proporsi perempuan berusia 20-24 tahun dengan pendidikan tinggi telah meningkat secara stabil, dari 6 persen pada 1960 menjadi 60 persen pada 2010, dan sejak pertengahan 1970-an, tingkat pekerjaan perempuan juga meningkat pesat.

Lebih lanjut lagi dijelaskan bahwa selama periode yang sama, tingkat pekerjaan laki-laki telah menurun secara perlahan namun pasti, dan sebagian besar pekerja muda di sana bekerja di pekerjaan sementara. Masalah ini sangat mungkin mempengaruhi prospek pernikahan mereka.

Japan’s Baby Boom


Jepang pernah mengalami momen baby boom pertama (kelahiran bayi yang tinggi) pada tahun 1947-1949 dengan lebih dari 2,5 juta kelahiran setiap tahun. Sedangkan baby boom kedua (1971-1974) menghasilkan lebih dari 2 juta kelahiran tahunan.

Namun sejak saat itu, jumlahnya telah turun terus-menerus dan turun di bawah jumlah angka kematian untuk pertama kalinya pada tahun 2007.

Dibuat oleh Nippon.com berdasarkan statistik demografi dari Kementerian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan Jepang.

Karena anak-anak dari masa baby boom kedua sekarang telah berusia hampir lima puluhan dan melewati usia subur pada umumnya, maka jumlah kelahiran di Jepang diperkirakan akan terus mengalami penurunan.

Jumlah pernikahan di Jepang turun lebih dari 20.000 menjadi 586.438 antara tahun 2017 dan 2018. Hal ini sesuai dengan 4,7 serikat pekerja per 1.000 orang yang merupakan rekor terendah baru di era pasca perang.

Respon Pemerintah Jepang Terhadap Masalah Kependudukan


Pemerintah Jepang tentu saja tidak ingin masalah penurunan jumlah penduduk di negeri mereka terus memburuk. Maka dari itu, mereka telah menerapkan sejumlah langkah penanggulangan.

Berikut adalah beberapa respon Pemerintah Jepang terhadap masalah kependudukan seperti dilansir dari laporan PBB.

  • Sejak awal tahun 1990-an, Pemerintah Jepang telah memperluas kebijakan dan program keluarga di tiga bidang: (1) layanan pengasuhan anak; (2) skema cuti orang tua; dan (3) bantuan moneter dalam bentuk tunjangan anak.
  • Mulai tahun 1994, Pemerintah telah menerapkan serangkaian program yang dirancang untuk menyediakan lebih banyak layanan pengasuhan anak dan mendorong tempat kerja untuk menjadi lebih ramah keluarga.
  • Mulai tahun 1992, Pemerintah telah menawarkan cuti orang tua selama 12 bulan untuk orang tua yang memenuhi persyaratan kerja minimum. Kompensasi pendapatan ditambahkan pada 1995 dan sekarang dibayar 50 persen dari gaji bulanan sebelum awal cuti.

Terlepas dari upaya ini, kebijakan keluarga Jepang sejauh ini tampaknya sebagian besar tidak efektif. Ketegangan pada orang tua, terutama ibu yang bekerja, belum berkurang secara signifikan dan kesuburan tetap sangat rendah.


Beberapa pengertian yang perlu dipahami:

  • Pasca perang (postwar) adalah era yang biasanya merujuk pada waktu sejak akhir Perang Dunia II.